Hi Solihat

Let me share with you here

  • Home
  • Contact Me
  • Yang Tak Pernah Selesai


Blurb

Tahun 2012, Nadia pernah terikat dengan seseorang yang tidak pernah ia temui-Reza, teman sms dan chat FB yang menghilang begitu saja di tengah kedekatan mereka.

Bertahun-tahun kemudian, di sebuah Event Organizer tempat Nadia bekerja, Reza muncul kembali. Tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf. Hanya satu kalimat yang diucapkan:

"Iya kenal, tapi dulu."

Nadia ingin melupakan semuanya, sampai Dika datang, rekan kerja baru yang justru melihat sesuatu yang bahkan Nadia sembunyikan dari dirinya sendiri.


***


Hai semuanya! 

Mulai minggu ini aku akan rutin upload cerita terbaru di blog pribadi dan ini adalah cerita pertama aku setelah sekian lama hiatus dari menulis cerita. 

Jadwal upload: setiap Sabtu malam pukul 20.00 WIB.

Jangan lupa mampir ya! Siapa tahu ceritanya bisa jadi teman malam Minggu kalian.

Sampai ketemu di postingan berikutnya! 


Cheers,

Solihat


Photo by Andrea Piacquadio

Menulis itu berarti mengingat ulang, dan tidak semua ingatan itu menyenangkan. Rintik Sedu. 

Semalam aku membaca blognya Rintik Sedu dan menemukan kalimat itu. Rasanya iya betul banget. Kadang yang membuat kita enggan menulis bukan karena menulisnya, tapi karena kita harus siap berhadapan dengan ingatan yang tidak semuanya menghadirkan senyum. Ada bagian dari diri yang masih perih, yang belum siap disentuh, apalagi dituangkan ke dalam kata.

Aku teringat ketika tahun lalu mengikuti sesi konseling bersama psikolog sekolah. Beliau berkata, “Untuk bisa mengenal luka inner child, cobalah banyak mengobrol dengan diri sendiri atau menulis.”

Satu dua kali aku mencobanya. Tapi setiap kali sampai di titik harus mengingat momen yang menyakitkan, aku menarik diri. Aku berhenti menulis. Seolah tubuh dan pikiranku bersekongkol untuk melindungiku dari rasa sakit itu.

“Bu, rasanya menyesakkan setiap kali ingat momen itu,” kataku pelan. “Aku gak sanggup melihat diri aku di sana, apalagi memeluknya.”

Beliau tersenyum lembut.

“Kalau orang sakit terus minum obat, gimana rasanya?”

“Pahit, Bu.”

“Tapi demi sembuh, tetap harus diminum, kan?”

Aku terdiam.

“Sama seperti jiwa kita. Sesakit apa pun, tetap harus dihadapi. Memang terasa sesak saat menuliskan pengalaman yang tak kita inginkan, tapi setelah itu semuanya akan lebih ringan.”

Beberapa waktu setelahnya, sekolah mengadakan IHT bertema “Deep Secret and Inner Child Healing: Learn How to Make Peace with Your Inner Child and Create A Trauma Free Environment for Your Kids to Grow.” Kami diajarkan berdialog dengan diri sendiri, lewat kata-kata, doa, dan tulisan sambil menatap foto masa kecil kami.

Aku mencobanya.

Tapi baru melihat foto itu saja, air mataku sudah jatuh. Dadaku terasa sesak. Aku gagal lagi menjalani sesi terapi menulis itu. Sampai akhirnya kondisiku makin tidak stabil. Emosiku berantakan, pikiranku mudah kalut. Seorang rekan kerja bahkan berkata lembut, “Kamu kayaknya udah butuh bantuan profesional.” Dan benar saja, aku kembali menemui psikolog sekolah.

Sebenarnya aku tahu apa yang harus kulakukan: mendengarkan diri sendiri, journaling, olahraga, beristirahat. Tapi semua itu selalu kuhindari karena aku tak siap menghadapi rasa sakit setiap kali harus mengingat masa lalu. Hingga suatu hari aku sadar: jika ingin sembuh, aku tidak bisa terus berlari dari hal-hal yang menyakitkan.

Aku pun memulai lagi.

Menulis sambil memandangi foto masa kecilku.

Rasanya seperti membuka kembali luka lama yang belum benar-benar kering. Dua jam lamanya aku habiskan hanya untuk menelusuri ingatan-ingatan yang dulu sengaja kupendam. Keesokan harinya, aku mengabari psikologku. Dan beliau membalas dengan kalimat yang membuatku menangis:

“Subhanallah, Solihah. Dengan lembut Allah berkata kepada teteh:
Aku menulis namamu sebelum bumi ini tercipta. Aku merawatmu, menemanimu, menjagamu, dan tak akan meninggalkanmu meski sekejap matapun. Maka maafkanlah segala hal yang menurutmu tak lengkap dan tak sempurna, karena hanya Aku yang Maha Sempurna.”

Sejak saat itu, aku belajar berdialog dengan diri sendiri. Perlahan, setiap kali aku menulis, rasa sakitnya tak lagi sesedih dulu. Setiap huruf yang kutulis seperti menjadi doa kecil untuk jiwaku sendiri. Aku mulai bisa melepaskan, menerima, dan memaafkan terutama memaafkan diriku sendiri.

Perlakuan orang tuaku pun kini berubah. Lebih hangat, lebih menerima, dan lebih penuh kasih. Perubahan itu membuat proses penyembuhanku semakin mudah. Aku merasa Allah memang bekerja lewat cara-cara yang lembut: melalui orang-orang di sekitarku, melalui rasa sakit yang dulu aku benci, dan melalui tulisan-tulisanku sendiri.

Lucunya, kini aku justru kecanduan menulis. Setiap kali perasaan datang dan aku tak tahu harus berbicara pada siapa, aku menulis. Kadang tanpa arah, tapi selalu berakhir dengan kelegaan. Aku sadar, menulis bukan sekadar kegiatan menuangkan pikiran, melainkan proses berdamai dengan masa lalu, dengan diri sendiri, dan dengan takdir.

Menulis itu memang mengingat ulang. Tapi dari setiap ingatan yang kutulis, aku belajar satu hal: bahwa Allah tidak pernah salah menempatkanku di jalan hidup ini. Ada rasa sakit, ada kehilangan, ada luka tapi di antara itu semua, ada pertumbuhan. Dan setiap kalimat yang kutulis adalah bentuk kecil dari kepercayaanku bahwa setelah setiap perih, ada kesembuhan; setelah setiap tangis, ada ketenangan. 

Kini aku tak lagi menulis untuk melarikan diri, tapi untuk pulang. Pulang kepada diriku sendiri.


Love,

Ihat




Photo by Saeid Anvar

Aku paham

Ada batas yang tak bisa dilangkahi

Ada garis tipis yang harus tetap dijaga meski hati ingin menyeberanginya

Sialnya, justru jarak yang semestinya menjauhkan malah membuatku terus mengingatmu

Mengulang kembali setiap kebaikan tulusmu yang dulu kupikir hanya sebatas peran yang kau jalani sehari-hari

Ternyata tidak sesederhana itu.


Kita sama-sama terbunuh oleh rindu yang tak pernah bisa diucapkan

Kamu menyiratkannya dalam nada yang meredup

Sementara aku membiarkan diriku tenggelam dalam huruf-huruf yang berantakan

Satu-satunya cara agar perasaanku tak pecah di dalam diam.


Dua orang yang sama-sama terperangkap dalam luka yang tak pernah terbagi

Namun entah bagaimana justru saling mengobati.


Izinkan aku mengungkapkan semua sendu

Semua rindu yang tak pernah selesai ini,

Dalam bentuk kata-kata yang mungkin tidak rapi, tapi jujur.


Aku tahu aku membutuhkanmu

Tapi aku juga tahu aku tak bisa terus menggantungkan hatiku padamu.


Kita sama-sama paham itu.


Terima kasih telah memberi ruang untukku

Ruang untuk menenangkan luka-luka kecil yang tak pernah sempat kupahami,

Ruang untuk tetap percaya padaku dalam hal-hal yang tak pernah kuminta,

dan ruang untuk terus melangkah sementara kamu tetap mengawasiku dari jauh.


Namun masa melangkah dalam satu arah telah berakhir

Meski di hidupmu “selamat tinggal”

Tidak pernah sungguh-sungguh terucap

Ada harap tipis bahwa kelak kita bertemu lagi dengan cerita yang berbeda.


Kebaikanmu meninggalkan jejak yang tak bisa kuabaikan

Aku baru memahaminya

Ketika langkahku sudah menjauh

Ketika aku sadar bahwa tak akan ada lagi ruang untuk bersua ataupun berjumpa kembali

Dengan alasan apapun.


Dan akhirnya semua itu hanya bisa kusimpan dalam hati

Menahan apa pun yang hadir dalam diam

Memeluknya dalam kesunyian

Membiarkan semuanya mereda dengan tenang.


Hingga pada saat nanti tiba waktunya

Yang ditakdirkan untukku akhirnya tiba

Dan tentangmu tak lagi menyisakan resah

Hanya berupa jejak yang menjelma pelajaran. 


Tasikmalaya, 8 November 2025

Seusai hujan reda.

Photo by Jan Kroon


Aku selalu mengira jarak akan menghapus semua yang pernah ada.

Obrolan ringan yang kusangka sepele, diskusi hangat yang sering kuanggap rutinitas, hingga pertemuan singkat yang tak pernah benar-benar kupikirkan maknanya.

Kupikir jarak akan menjauhkan kita untuk selamanya.
Tapi ternyata aku naif.

Justru jaraklah yang membuka mataku
Bahwa kebaikanmu selama ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bahasa halus dari perasaan yang bahkan mungkin tak kau sadari tumbuh di hatimu.

Di tempat yang berbeda, aku belajar satu hal:
Perlakuanmu ternyata tidak pernah biasa.
Kebaikanmu memiliki warna yang tak pernah kutemukan di mana pun aku berada.

Aku terlalu kaku menerima perhatian.
Terlalu beku untuk percaya pada kebaikan tanpa syarat.
Terlalu kelu menjawab pujian yang kau ucapkan dengan nada berat dan sungguh-sungguh.

Namun jarak justru membuatku sadar
Aku terlambat memahami semua itu.
Bahwa kebaikan dan perhatian tulusmu telah lama mengetuk dinding pertahananku, mendengar luka-luka yang belum sembuh, membuatku merasa hidup, utuh, dan manusiawi.

Dan anehnya… aku bersyukur atas keterlambatan ini.
Karena ia menyelamatkanku dari kemungkinan-kemungkinan yang tak seharusnya terjadi.

Mungkin kau sudah lama menyadarinya.
Mungkin kau pandai menyembunyikan asa yang pelan-pelan tumbuh di hatimu.
Kita sama-sama tahu ada batas yang tak boleh dilewati.
Ada rasa ingin yang tak akan pernah menjadi nyata.

Kini aku memilih diam.
Memendam semuanya dengan tenang.
Menyimpan kenangan baikmu di sudut hati terdalam
Tempat yang tak akan tersentuh jarak ataupun waktu.

Karena bagiku, kau adalah orang pertama yang membuatku percaya lagi
bahwa aku layak diperlakukan dengan baik,
bahwa mimpiku tidak terlalu besar,
bahwa kesalahan bukan akhir dari segalanya.
Bahwa menjadi manusia berarti punya ruang untuk tumbuh dan memperbaiki.

Terima kasih.
Untuk segalanya yang pernah kau berikan, meski tanpa pernah benar-benar kau ucapkan.


Love,

Ihat


Photo by Andrew Neel

Tepat dua bulan yang lalu aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan dia. Seperti yang ditulis Brianna Wiest dalam bukunya 101 Essays that will Change the way You Think,

It's intersting to think about how we make people who used to be everything into nothing again.

Dan mungkin inilah bagian paling berat dari proses melupakan: meski tidak bisa benar-benar ada yang lupa, tapi tentang membiasakan diri dengan kondisi baru. Dia yang dulunya sangat berarti dan hadir setiap hari, kini tidak ada lagi dan kebiasaan-kebiasaan yang pernah dilakukan bersama tentu harus berhenti. 

Sudah dititik lelah dan kami memang tidak memiliki tujuan yang sama. Dia yang hanya ingin sekedar menjadi teman saja tanpa melibatkan perasaan, sedangkan aku? Tentu, perasaan itu terlanjur tumbuh seiring dengan banyak hari yang dilalui bersama dengan cerita dan pengalaman yang sering dibagi satu dengan yang lainnya. 

Ini bukan yang pertama kalinya aku memutuskan untuk meninggalkan dia. Dulu pun sempat begitu, namun aku tergoda untuk kembali menghubungi dia dan kami menjadi akrab kembali. Dengan harapan dia bisa berubah perasaannya. 

Sayang seribu sayang, I wasted my time. Dengan berat hati dan belajar untuk memprioritaskan diri sendiri akhirnya aku kembali memutuskan itu. Meski terkadang di awal terasa berat karena tidak terbiasa dengan rutinitas yang baru, aku terus memaksakan diri aku untuk mulai terbiasa dengan itu semua. Yang biasanya cerita dan berkeluh kesah, atau sekedar mengirim foto tentang pekerjaan kini tak ada lagi notifikasi tentang itu. Yang biasanya perasan-perasaan aku divalidasi oleh dia, kini mau tidak mau aku harus belajar untuk memvalidasi perasaan aku sendiri oleh diri aku sendiri tentunya. Aku tak bisa terus menerus bertumpu dan bersandar pada orang lain. Meski orang itu memberikan kamu kenyamanan, mampu memahami kamu dengan baik, selalu ada kapanpun kamu membutuhkan dia, kalau pada akhirnya dia tidak memiliki niat baik untuk hidup bersama dengan kamu buat apa? Aku tahu aku sadar. He is my type. But then, once again. We haven't both got same intention. 

Even we ended, the memories: there are always those bits that linger, on the places you went and the things yous said, and the songs you listened to remain. 

Sabtu kemarin, tidak sengaja aku mendengar lagu We Don't Talk Anymore - Charly Puth, Selena Gomez di teachers room. Aku terdiam. Yang dulunya terbiasa saling mengabari, kini hanya saling melihat di story instagram. Aku akui, ada perasaan menyusup yang kadang mendorong aku untuk menghubunginya kembali. 

Setelah dihubungi, terus mau apalagi?

Mau melukai diri kamu sendiri sama harapan yang kamu buat sendiri?

Jelas-jelas dia hanya ingin berteman sama kamu. Gak lebih. Kalaupun dia sebaik itu sama kamu, seperhatian itu sama kamu, ingat. Hatinya masih ragu sama kamu, dan tidak pernah mau memperjuangkan kamu. Bukankah jika kedua orang ditakdirkan untuk bisa bersatu, keduanya akan saling memperjuangkan bukan? 

Aku kembali mengurungkan niat itu. Dan hanya melihat profil instagramnya sesekali. Meski tidak ada new udpate. Karena memang dia tidak suka update terkait kehidupan dia di sana. Tapi saat ini aku bersyukur pada diri aku sendiri karena aku bisa meredam keinginan itu. 

Aku tahu, aku terima, dan aku sadar. Aku tak akan pernah bisa benar-benar melupakan dia. Apalagi dia adalah laki-laki pertama yang mampu membuat aku merasa dihargai, dilihat, dan didengar. Meski begitu, aku yakin. Kita yang pada awalnya asing, akan kembali menjadi asing. Bedanya dulu tanpa kenangan, kini kenangannya akan tetap melekat ada. Walau begitu, semuanya akan pudar seperti sebelumnya. Kelak, jika kita bertemu ataupun harus kembali berkomunikasi kita akan memulai seperti sebelumnya tidak kenal satu sama lain.

We all start as strangers, but we forget that we rarely choose who ends up a stranger, too. - Brianna West -

Dari dia aku belajar, bahwa sampai kapanpun ternyata hanya diri sendiri yang mampu menemani dan tidak akan pernah meninggalkan.  

Hi,

I miss you. 

And how are you? Hope you're doing well. 

Thank you for coming into my life. 

Thank you for being my best friend for two years. 

Talking, sharing, laughing, and crying with you are such beautiful memories that will be kept in my heart. Event hough, I have to learn to let you go and I know I'm not good at it. 

I write it because I miss you. 

I realize that we don't share the same intention, and thus why we couldn't meet at the same point and fight for it together.

Hope you can find the right one for you, and I do, too. 


Love,

Solihat



Photo by Pixabay

Hari Minggu sebentar lagi berakhir, dan itu artinya Senin sudah menunggu di depan mata. Kembali lagi bekerja, kembali lagi ke rutinitas.

Ada beberapa hal yang ingin aku highlight selama satu minggu ini. 

Pertama, perasaan aku yang mudah berubah. Apalagi kalau si anxiety ini kambuh. Rasanya kayak aku gak bisa fokus sama apa yang harus aku kerjakan atau yang ingin aku sampaikan. 

Kedua, kalau mood aku lagi bagus, biasanya akan lebih mudah buat aku untuk menghadapi hari dengan lebih tenang. Rasanya semua if if an dalam kepala itu berhenti sejenak dan hilang entah pergi ke mana. 

Ketiga, selalu saja ada momen yang menjengkelkan, bahkan di saat kita udah berusaha untuk menjaga sikap kita sebaik mungkin.

Keempat, tentang usia aku yang 28 tahun dan belum juga menikah. Tentang doa dari senior aku di tempat kerja, dan juga tentang perceraian para artis yang entah kenapa ikut memantul di pikiranku. 

Tentang Mood Swing dan Anxiety

Entahlah. Aku juga sedang tidak faham dengan diriku sendiri. Kadang ada aja hal yang bikin aku merasa kayak degdegan gak karuan, panik gak jelas, atau cemas berlebihan setiap kali menghadapi tantangan baru. 

Semakin aku belajar menerima tentang perasaan ini, semakin aku sadar dan faham bagaimana hal ini bisa muncul dan bagaimana cara meng-handlenya.

Contoh kecilnya,  setiap kali aku mendapatkan tugas baru, otakku langsung overthinking kayak aku tuh merasa aku udah ada di moment itu dengan kejadian-kejadian yang mengerikan dan itupun dibuat oleh fikiran aku sendiri. Alhasil, bukannya aku siap-siap, aku malah banyak menunda. Alasannya? 

"Ah susah." 

"Ribet." Atau, "nanti aja." 

Dan itu tuh terus menerus berputar-putar di kepala gak berhenti. Makannya sedikit demi sedikit setiap ovethinking aku kambuh, termasuk anxiety nya aku paksa diri aku dengan cara memulai untuk membuat persiapan. Daripada bingung di kepala dan tidak ada action yang ada malah overthinking dan anxiety ternyata dengan cara kita melakukan hal-hal tersebut untuk persiapan justru perasaan-perasaan itu berkurang dan aku bisa menemukan cara dan solusinya bagaimana. Nah dari hal tersebut, pada akhirnya membuat aku sadar, setiap kali perasaan aneh itu muncul mau tidak mau aku harus menuliskan apapun dalam selembar kertas, agar semua perasaan-perasaan negatif itu bisa terkendali. 

Terakhir aku kasih afirmasi untuk diri aku.

Ingat, yang bisa aku kendalikan hanyalah aapa yang aku persiapkan dan aku sampaikan. Sisanya, apakah orang akan faham atau tidak, komentar orang baik atau bagus, berhasil atau tidak itu di luar jangkuanku. Fokus pada apa yang bisa kamu kendalikan. Jangan ambil peran Tuhan. 

Menjaga Mood

Agar mood nya bagus jangan lupa bangun lebih awal, salat tahajud, sat-set di pagi hari, menyisihkan waktu 20 menit untuk ngobrol sama orang tua, dan jangan lupa ucapkan alhamdulillah walau kamu tahu perasaan-perasaan negatif itu selalu datang. 

Kuncinya tetap sama: Fokus pada apa yang bisa aku kendalikan. 

Tentang Pertanyaan "Kapan Nikah?"

Entah kenapa, seminggu ini beberapa orang menyinggung aku soal "menikah." Senin lalu, senior di tempat kerja memberi aku dari seorang ustadz doa untuk meminta jodoh yang didapatkannya dari pengajian semalam. Satu hal yang membuat aku bisa menerima adalah beliau tidak menjudge aku dengan hal lain, atau menyudutkan aku lantaran aku belum menikah. Beliau dengan sopan menasihati aku untuk terus mengamalkan doa itu dan tidak menutup peluang untuk siapapun yang datang. 

Tapi pengalaman yang paling bikin aku kesal di minggu ini dan bikin aku uring-uringan di jalan adalah saat bertemu sahabat lama di toko buku. Moment yang seharusnya menjadi momen temu rindu ini malah jadi moment yang menyakitkan. 

Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut dia seteah kami saling sapa tanya kabar adalah,

"Kamu udah nikah belum?"

Meski agak kaget dan langsung ditodong pertanyaang ini, okay. Ini pertanyaan basi dan aku sudah sering mendapatkannya. Dan pertanyaan ini masih bisa aku toleransi. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan soal sahabat-sahabat kami yang lain yang semuanya udah punya anak dua. Dari 4 orang yang dulunya bersahabat ketika SMA, hanya aku yang masih single, belum menikah dan tentunya juga belum punya anak. Dalam hati, ini maksudnya apa sih ngomong-ngomong begini? Terus dia bilang intinya serba kapan. Belum lagi nyinggung soal pakaian aku yang pada saat itu aku pakai celana jeans longgar, sementara memang dia sudah berpakaian syar'i. Dalam hati ngapain sih udah lama gak ketemu malah bahas ginian, orang aku juga gak bahas yang aneh-aneh. Cuma nanya anaknya siapa namanya, kabar dia. Malah dia yang banyak nyeroscos. Sampai pas aku pamitan pulang duluan, dia malah bilang, 

"Sibuk ngejar karir mulu ya." Rasanya bak dihantam palu, aku tak menggubris ucapannya dan langsung bersalaman pulang. Begitu pulang dan selama di jalan rasanya aku udah pengen meledak nangis. Ini orang setelah hampir bertahun-tahun gak ketemu, eh sekalinya ketemu malah ngobrol gitu? Hei! You have no idea what I've been through. Emangnya perkara cari jodoh cuma nunggu di rumah, cari laki sana sini tanpa bekerja? Sorry to say, but I've been living on my own financially. If I want to treat myself, I need to work for it. 

Sebegitu sampai di rumah, aku nyeroscos gak karuan dihadapan orang tua aku sambil nangis. Aku kesal dengan perkataan orang tentang hidup aku. Sampai bisa dititik ini juga butuh perjuangan besar untuk aku bisa melewatinya. Bisa tetap hidup, tetap waras, masih inget Allah dan yakin sama apa yang sudah digariskan-Nya juga itu sudah pencapaian besar buat aku. Dan akupun gak perlu membeberkan itu semua kepada dunia bukan?

Destinasi dari hidup juga bukan hanya soal menikah, banyak kebaikan lainnya yang bisa kita lakukan. Kenapa sih orang-orang tuh rese kalau lihat kita belum menikah atau masih jomlo gitu? Kayak aib banget kelihatannya. Bantuin cariin jodoh aja kagak, apalagi bantuin biaya resepsi sama nanggung biaya kehidupan pasca menikahnya.

Mana ngobrolin soal yang lain udah punya anak 2 dan aku belum. Ini akan menjadi momen yang sangat menyakitkan kalau posisinya aku sudah menikah dan belum punya anak. Huhuuu. 

Mana isu perceraian semakin meningkat. Dari selebritis aja, Raisa misalnya. Kadang aku sadar gitu ya, pernikahan itu bukan hanya soal status: pindah dari single jadi married, bukan. Tapi soal tanggung jawab, komitmen, dan kerja sama. 

Aku tumbuh dengan melihat Bapak yang bisa masak, beres-beres rumah, gak pernah ribut sama mamah di depan anak-anaknya, selalu menomor satukan keluarga, act of service, gak banyak nuntut ke istri, urusan rumah itu dikerjakan bersama, tidak merokok, membuat aku punya standar tertentu dalam memilih pasangan. Dan aku rasa, itu bukan sesuatu yang salah. 

Terima Kasih, Diri Sendiri

Aku mau mengucapkan terima kasih buat diri aku yang terus menerus mau belajar untuk mengenali diri sendiri dan tetap tawakal kepada Allah. Karena pada hakikatnya kita ini lemah dan butuh sekali sandaran kepada dzat yang tidak pernah mengecewakan yaitu Allah SWT.

Dan juga jaga lisan. Jangan pernah judge kehidupan orang lain. Kita gak pernah tahu seberat apa mereka memperjuangkan hidup mereka.

Ketiga, aku pengen bilang: I really love my parents. Terima kasih karena selalu ada dan mendengarkan. Tidak pernah menyudutkan atau menyuruh aku untuk cepat-cepat menikah meski aku tahu jauh di lubuk hati mereka pasti mereka khawatir, namun mereka percaya bahwa menikah bukan soal cepat, melainkan soal kesiapan dan pilihan yang tepat.


Love,

Ihat

Photo by Yelena from Pexels


Three things I'm grateful for today...

When I came out from my house to go to school, I saw that my basket on my bicycle had been fixed! It was broken before, and I immediately knew who had repaired it.  My father. 

I felt so happy to see that. And without saying anything, my father fixed it yesterday. I had told him that I would bring it to a repair shop, but I got sick and forgot about it. This morning felt like a sweet surprise. Now, I can carry my things more easily, but more than that, I carry the feeling of being cared for.

The second thing I'm so grateful for is being able to wake up early, prepare early, and  have time to talk with my parents while they sell their goods things in the morning.  They keep supporting me as a teacher, even though they know about how small a teacher's salary can be. They have never blamed me for the major I chose in university. Instead, they always remind me that sincerity and hard work will bring barakah. I feel deeply thankful for their constant support, patience, and faith in me.

The third one is being grateful and proud of myself. Thank you for doing your best today, for trying to let go of things you can't control, for recieving kind prayers from your seniors about your future husband, and ignoring what others say about you. You've focused on what you can handle, put Allah in every single steps you take, and fought  against your worries about things that might never happen. 

Thank you.

Thank you.

Thank you Allah for giving me small but meaningful moments of sweetness in this limited life. I know through this journey is not easy. And I'm still finding about myself, my desires, my intentions. Thank you for pouring me with blessings and love. I love my parents endlessly. I love them so much. Please, give them happiness in this dunya and akhirah.  


Love,

Ihat


Photo by Anna Tarazevich


Yesterday was a hard day for me. I felt out of sorts, sluggish, unable to open my hand to the day’s offerings. Perhaps it was just the cumulative weight of things unknown and things missing. I couldn’t name it and that’s why I went to write. Not to clarify things, but simply to release them.

Sometimes, I feel like I spend my days living with my head in the past or the future, forgetting about the present. When I do this, I miss out on the moment that’s right in front of me. A moment that could be filled with joy or peace. A moment where I could be fully engaging with my family or friends, focusing completely on what I’m doing, or simply observing the beauty of the world around me.

Maybe that’s why I often find myself complaining about life.

One of my friends once said,

“Don’t fight the current. Just follow the flow, be sincere, and let go. The more you fight it, the more exhausted you’ll become.”

Another friend told me,

“Why don’t you allow yourself to be a beginner? Try to accept who you are and where you are now. If you’re in a new environment, it’s normal to be a beginner who doesn’t know much yet.” 

“Everyone starts somewhere. The people who seem to be doing well today also went through this phase before. Don’t compare your journey with others. Focus on your own process. Everything takes time.”

I went silent after hearing their words. The more I resisted my current situation, denying where I was and forcing myself to be capable right away, the heavier I felt. I didn’t give myself the space to move slowly. I couldn’t run, and even walking felt difficult.

Learning to accept what I have now hasn’t been easy. It took days, even weeks, to train myself to truly accept and make peace with the destiny that Allah has planned for me. But when I finally did, something magical happened. Life that once felt heavy slowly became lighter. Small things started to feel meaningful again, like the presence and support of my parents. Maybe it’s because I’ve learned to say, “Okay, this is just a part of my life, part of my process. Nothing is permanent, and everything in this dunya is temporary.”

Of course, I’m still learning. There are days when I face old triggers and start blaming myself again. But the intensity has decreased, and now I can handle those uncomfortable emotions better.

I’ve started to accept both my strengths and weaknesses. I’ve realized that everyone has their own flaws. No one is truly “better” than others, because in the end, we are all just Allah’s creation: we are weak.

Learning to enjoy the process is hard. There are still moments when I ask myself, “What if I fail? What will people say?” But now, those doubts are answered with calm: “If you fail, it’s okay. Try again.”

No one succeeds in just one try. It takes dozens, hundreds, or even thousands of attempts before success finally comes.

So for now, I remind myself

Just live in the present moment. You can’t live in the past because you can’t change it. And you can’t live in the future either because it’s not guaranteed to come.


Love,

Solihat



doc. pribadi


Identitas Buku

Judul: A Guide Book to Trust Yourself

Penulis: Ares Ulia

Tahun Terbit: 2022

Penerbit: Penerbit Briliant

Jumlah Halaman: 142 

Blurb

Mental breakdown, introvert hangover, burnout, overthinking, dan masih banyak lainnya berhubungan dengan diri sendiri, interaksi sosial, dan rasa lelah akibat perpaduan hal-hal tersebut. Baik fisik, pikiran, ataupun mental harus selalu dirawat karena kesehatan dari ketiga hal tersebut semuanya sama-sama penting. Tidak ada yang lebih penting dibanding lainnya. Bahkan, beberapa sakit fisik bisa timbul karena banyaknya beban fikiran. 

3 Insight Utama

1. Saat overthinking kambuh, kita bisa lakukan langkah nyata dengan menulis apa pun yang mengganggu pikiran kita. Anggap menulis sebagai ajang curhat dan wadah untuk mencurahkan semua kegelisahan yang ada dalam diri. Selain itu, kegiatan ini juga melatih kita untuk lebih jujur pada diri sendiri.

2. Kita selalu meremehkan kemampuan diri kita sendiri. Padahal kemampuan individu itu selalu bisa ditingkatkan. Tidak bisa pada percobaan pertama bukan berarti akan selamanya tidak bisa.

3. Kalau punya rencana, keep it secret. Berhenti banyak bicara dan langsung lakukan saja.

Refleksi Pribadi

Aku mau mengucapkan terima kasih banyak, jazakillah khoiran katsiira buat Bu Sabin yang sudah menghadiahkan buku ini. Dari buku ini aku jadi sadar, ternyata dunia tidak semenyeramkan bayangan di kepala. Sekarang, kalau overthinkingnya mulai kambuh, aku biasanya langsung ambil buku atau kertas untuk menuliskan semua ketakutan yang ada di pikiran. Hasilnya? Aku bisa lebih lega, karena ternyata semua itu hanya imajinasi di dalam kepala. 

Selain itu, overthinking sering merambat ke konsep diri. Jujur, aku sering jadi merendahkan kemampuan diri sendiri. Gagal dipercobaan pertama sering membuat aku menyimpulkan kalau aku itu gak capable dan ingin pindah ke bidang lain. Padahal konsepnya gak gitu. Lingkungan kerja aku juga alhamdulillah sangat suportif. Jadi sekarang, aku belajar untuk lebih banyak mengapresiasi diri sendiri sekecil apa pun atas usaha yang sudah dilakukan, sambil terus evaluasi dan belajar lagi. Bukankah orang-orang yang expert di bidang tertentu awalnya juga seorang beginner kan? Dengan banyak trial and errornya? 

Terakhir, bagian yang paling menampar aku adalah soal keep your plan secret. Karena kalau banyak diumbar sana-sini, seringnya malah muncul banyak komentar atau masukan, yang pada akhirnya bikin kita malas memulai. Apalagi kalau sudah dapat pujian, rasanya kayak cukup sampai sebatas rencana saja tanpa benar-benar terealisasi.

Rekomendasi

Menurutku, buku ini cocok untuk siapa saja yang sedang merasa gagal, tak berdaya, sering overthinking atau merasa bahwa dirinya sendiri tidak layak. Buku ini juga pas dibaca saat kamu lagi butuh teman refleksi, supaya sadar kalau ternyata banyak hal yang bisa diselesaikan dengan langkah sederhana. Selain itu, buku ini ringan dibaca, jadi cocok buat kamu yang baru mulai tertarik dengan tema self-healing dan pengembangan diri. 


Cheers,

Solihat

Photo by Pavel Danilyuk

One thing that I have to be grateful for is my parents' support. They are the reason I can keep going when everything feels heavy.

Saat aku udah sering banget complain soal hidup ini, baliknya aku ke kampung halaman lantas tak membuat aku rehat sejenak. Aku kembali diberi pekerjaan dari pagi sampai malam yang benar-benar menguras seluruh tenagaku. Itu membuat aku bertanya-tanya. Kenapa harus begini? 

Jika ditanya mengapa demikian, ya honestly I need money. Selain itu juga kesempatan datang pada saat aku hampir menyerah, namun ternyata Allah kasih aku jalan lain. Seolah Allah gak mau aku cuma diam aja, Allah mau aku terus berjuang. Jadi antara kebutuhan dan kesempatan, aku dipaksa untuk memilih tetap berjuang.

Dan kamu tahu? How my parents' responses?

Mereka benar-benar mendukung keputusan aku, mendukung kegiatan aku walau jika harus dilihat secara materi ya kurang lah. Kami sadar, secara ekonomi kami pun masih kekurangan. Keuda orang tuaku mendukung aku bukan karena secara materi, tapi karena mereka percaya pada usaha aku. 

Padahal jadi guru di negeri ini banyak risikonya, bukan cuma soal gaji aja ya. Tapi kenapa mereka setulus itu buat dukung aku menjadi seorang guru? Yang di negeri ini sendiri, kesejahteraannya pun tidak diperhatikan. Bahkan saat ini, profesi guru jadi mengancam jiwa. (Lihat kasus MBG, guru yang keracunan makanannya), atau mungkin menjadi sasaran amukan orang tua kalau dapat laporan yang enggak-enggak dari anaknya.

Something that makes me sad is when my father always companies me to work. Rasanya gimana gitu.  Atau mamah yang kini lebih khawatir apalagi dengan pekerjaan aku dari pagi sampai malam. Cucian aku aja dicuciin huhuuu meski udah disimpan di kamar, tetep aja malah diambil. Yallah. Sikap mereka bikin aku terharu sekaligus merasa bersalah. Aku pengen banget bisa balas kebaikan mereka.

I know this life is heavy, tapi keberadaan mereka sungguh membuatku selalu terus mencari cara ataupun jalan untuk bertahan atau berjuang. Aku mungkin belum punya pasangan, tapi dengan kehadiran mereka yang tidak pernah menuntut, mendukung setiap keputusan anaknya selama itu di jalan yang benar, bagi aku itu adalah suatu bentuk rezeki yang sangat mahal harganya. 

Setiap kali diantar jemput oleh Bapak, rasanya hati aku kayak teriris perih. Kayak, kapan ya aku bisa ngasih mereka lebih biar mereka gak perlu bangun malam buat persiapan jualan? Tapi di balik rasa sayang itu, ada juga rasa tidak mampu yang terus mengantui aku. 

Lagi dan lagi.

Aku pun belum bisa. Aku saja masih berjuang untuk hidup aku.

Sejatinya, mereka gak pernah minta tapi ya tetep namanya anak, apalagi anak pertama pasti pengen banget bisa ngasih banyak buat mereka. 

Ya Allah, aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Sungguh, saat ini aku benar-benar sedang kehilangan arah. Apa yang aku cita-citakan sedari dulu kini rasanya hambar, tak terasa berwarna dan aku bahkan sering mengeluh ingin minggat dan banting setir dari pekerjaan aku sekarang.

Tapi, lagi dan lagi.

Naluri selalu berkata lain. 

Aku gak tahu harus berjalan ke arah mana lagi. 

Aku lelah, aku ingin menyerah.

Namun di saat demikian, semangat dan dukungan mereka yang sering kali menjadi api pemantik untuk semangat aku yang hampir padam.

Bapak pernah bilang, sama seperti saat kamu sedang mengayuh sepeda, kamu hanya butuh untuk terus mengayuh sepeda seterjal apapun perjalanannya supaya kamu bisa sampai. Tapi kalau kamu memilih untuk berhenti dan turun, lantas apa bisa kamu bisa sampai ke tempat tujuan kamu?

I know, that is not easy as what my father said.

Tapi kenyatannya begitu. 

Kalaupun saat ini aku tidak tahu ini arahnya ke mana, rencana-rencanaku gagal dari apa yang sudah aku rencanakan. Aku lupa, bahwa dalam hidup ini sudah ada yang mengaturnya. Sudah ada yang lebih hebat dalam membuat rencana. Aku lupa bahwa selama ini ternyata ibadahku, salatku belum sepenuhnya karena Allah. Masih hanya berupa ritual untuk menggugurkan kewajiban. 

Buktinya? Aku masih meragukan hal-hal yang terjadi padaku. Aku terus merasa gagal padahal aku tak punya kuasa untuk menjadikan apa yang aku inginkan itu bisa terwujud. Padahal saat kita salat, doa-doa yang kita untaikan dalam bacaan salat itu maknanya adalah menyerahkan segala urusan kita kepada Allah. 


Ø¥ِÙ†َّ صَÙ„َاتِÙ‰ ÙˆَÙ†ُسُÙƒِÙ‰ ÙˆَÙ…َØ­ْÙŠَاىَ ÙˆَÙ…َÙ…َاتِÙ‰ Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ رَبِّ ٱلْعَٰÙ„َÙ…ِينَ

Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

See? Lantas kenapa dalam menjalani kehidupan ini sering kali kita masih mencari atensi manusia? Masih mencari validasi orang lain? Masih melihat ukuran kesuksesan orang lain yang pada akhirnya membuat kita lupa untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang sudah diberikan oleh Allah?

Aku tahu, aku terima semua perasaan yang tidak nyaman ini. Aku kebingungan, aku ragu, aku ingin menyerah, aku ingin jawaban itu ada saat ini....

Yallah.

Aku tak tahu harus berbuat apalagi.

Aku tahu dan aku terima perasaan kecewa ini.

Tolong jangan biarkan aku berjalan sendiri. Kalau kamu baca ini, doakan aku ya. Semoga aku diberi jalan yang terang.


Love,

Solihat




Photo by may day.ua:

Beberapa hari tidak menulis justru membuat fikiran berisik tak karuan. Maka dari itu, menulis buat aku adalah healing terbaik dan juga mudah. Kamu hanya perlu menuangkan seluruh isi kepalamu ke dalam kata-kata yang dirangkai hingga menjadi kalimat tanpa perlu merasa ini benar atau salah. Karena semua perasaan yang kamu rasakan itu valid, and that's normal.

Kalau ditanya, how was your week?

I'm so grateful for this week. 

Meski hidup memang gak bisa ditebak arahnya ke mana. Waktu itu aku mintanya buat istirahat dulu, tapi ini malah dikasih wahana roller coaster. Aku masih ingat, waktu aku bilang aku gak mau dulu jadi guru, eh yang terjadi malah sebaliknya. Aku masih saja diterima di pekerjaan yang sama. Padahal dalam hati udah yakin, kayaknya gak bakalan keterima deh. Tapi qadarullah, ya tetap keterima. Allah masih tuntun aku di jalan ini.

Lucunya ketika aku merasa tidak mampu dan aku sampaikan semua itu kepada atasanku, justru atasan aku hanya tersenyum dan bilang bahwa aku itu memiliki potensi dan kemampuan yang selama ini akupun tak mampu membacanya sendiri. 

Belum lagi, serangkaian kegiatan PPG yang mengharuskan aku mau tidak mau harus punya sekolah. Kesibukan akupun bertambah. Tidak hanya menjadi guru di kursusan, akupun kini menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar negeri. Dan aku merasakan sendiri bagaimana rasanya digaji kecil. Pagi sampai siang aku di sekolah, lanjut sore sampai malam itu di kursusan. Capek? Jangan ditanya. Gaji nyampe sebulan 10 juta? Hahahaaa. Enggak juga. Kadang pengen ngeluh, tapi ya mau gimana lagi. Harus dijalani. Sempat mikir, apa karena aku gak layak jadi di gaji kecil gitu ya? Biar bisa sebulan dapet 2 juta aja ampun kerjanya harus banting tulang dari pagi ampe malem. Tapi setelah obervasi dan cari info sana-sini, emang sistemnya udah dibuat kayak gini di Indonesia. Ya buktinya aja yang ada di atas, gajinya aja selangit, sementara kami? Kamu jawab sendiri aja deh.

Ya sudahlah, tak ada habisnya mengeluh soal negeri ini. Meski dicurangi oleh pemerintah sendiri, satu keyakinan aku. Apa yang menjadi milik aku tidak akan pernah tertukar. Dan hanya Allah yang menjamin rezeki setiap hamba-Nya. Kalau para pejabat itu bisa berkelimpahan harta dari cara yang haram, ya mereka juga akan menanggung semua itu kok. Kalau gak di dunia, di akhirat udah pasti gak akan bisa berkelit dan mengelak.

Meski capek, ada rasa haru dan bahagia saat melihat anak-anak sekolah, belajar. Ada siswa yang bela-belain salam sama aku sebelum dia masuk kelas. Dia berjalan ke lapangan untuk bisa bersalaman dengan aku, kemudian menyapa aku dengan bahasa Inggris.

"Good morning, Bu." Katanya sambil tersenyum malu-malu. 

Ada juga yang menulis bahwa dia ingin pintar seperti aku. Padahal aku juga gak pintar-pintar amat kok. Aku cuma senang belajar aja. Atau anak TK di kursusan yang menegur aku, 

"Ms, matanya jangan dikucek. Nanti perih, sakit."

Aku terdiam. Lalu tersenyum. Ada perasaan hangat yang menyusup dalam hati. 

Ah, entahlah. Aku juga aneh. Di saat aku ingin berhenti, tapi Allah tidak menginginkan itu. Justru dengan semua kesibukan yang Allah beri, perlahan Allah sembuhkan aku. 

Selain itu juga, kembali mengajar di sekolah lamaku dulu mempertemukan aku dengan teman lamaku yang juga dulunya adalah saingan langganan di kelas. Dia sudah lebih dulu mengabdi di sekolah ini. Satu minggu kemarin jika ada kesempatan untuk mengobrol, tentu kami akan bernostalgia dan sesekali update mengenai kehidupan kami masing-masing. 

"Kalau harus beradu nasib, ya semua orang juga sama. Punya masalahnya masing-masing. Gak ada yang mendang-mending, semua sama. Hanya persoalannya saja yang berbeda. Kalau saya harus cerita, sama. Kehidupan saya juga susah."

"Btw, kamu lagi deket sama siapa?"

Aku jawab aku lagi gak deket sama siapa-siapa. Tapi temanku itu gak percaya. Sampai akhirnya aku bilang bahwa aku lagi berteman dekat dengan seseorang.

"Ini sih saran saya sebagai laki-laki. Kalau dari awal dia gak ada niatan serius, mending tinggalkan. Karena tanpa sadar kamu sama dia udah bikin ikatan yang kuat. Saya takutnya kamu jadi buta sama kemungkinan lain."

Akupun terdiam.

Aku tahu, aku nyaman sama orang ini. Aku merasa nyaman, aman, dan juga bisa menjadi diri sendiri. Tapi untuk apa semua itu kalau dia memang tak ingin menjadikan aku sebagai bagian hidupnya? Kalaupun memang rintangan ini terlalu besar dan dia enggak sanggup, harusnya dia juga gak egois dong untuk tetap minta aku menjadi teman dia? 

Obrolan dengan teman aku ini membuatku berfikir. Apalagi saat dia bilang dia tak bisa menelfon aku karena ada kakaknya yang sedang datang ke rumahnya. Besoknya sama, dan aku sampaikan aja pembicaraan aku dengan teman aku itu ke dia.

Dan ya. Dia tetap dengan pendirian dia bahwa dia hanya ingin berteman saja denganku. Meski aku sudah tahu itu yang akan menajadi jawaban dia, tapi dengan melihat perubahan dia selama ini aku memiliki setitik harapan. Harapan bahwa bisa jadi perasaannya saat ini mulai berubah. Tapi kenyataannya? Tidak. Perubahan yang dia kasih buat aku ternyata gak menjamin bahwa perasaan dia berubah juga untuk aku. Maka dari itu, daripada aku harus drama lagi dengan dia seperti dulu dengan cara aku memblokir dia, perlahan saja aku mundur. Seperti mengurangi intensitas komunikasi dengan dia, tidak terlalu excited lagi dengan kehidupan dia, walau jauh dari lubuk hati terbesar aku, aku masih ingin tahu banyak hal. Hanya saja... Semakin aku tahu, semakin aku tersesat dan sulit untuk pulang. 

Aku tahu ini gak mudah. Tapi aku pun harus tegas dengan diriku sendiri. Buat apa tetap sama orang yang dia sendiri gak mau kamu ada dihidup dia? Buat apa saling support, saling berbagai soal kehidupan kalau nyatanya sampai akhir dia tetap bersikukuh bahwa kamu hanya jadi second lead? Bukan jadi main lead? 

Usiaku 28 tahun.

Karir aku berantakan.

Tabungan aku habis gak karuan.

Gaji juga alhamdulillah pas-pasan.

Kisah cinta yang menyedihkan.

Hahahaaa.

Ya, sudahlah. Mari tertawakan saja.

Aku jadi ingat, beberapa hari yang lalu saat ada yang memanggil namaku secara lengkap, dua kali lagi.

Aku terdiam cukup lama untuk mengingat nama orang yang memanggilku. Ternyata dia adalah teman satu kelas aku dulu, dan rupanya dia sedang menunggu jam kepulangan anaknya.

"Udah nikah belum?" Lagi dan lagi, pertanyaan ini. Batinku.

"Belum," jawabku sambil senyum.

"Ih kenapa? Oh, ini ya fokus karir dulu ya. Soalnya kan kamu dari dulu emang pinter."

Aku tersenyum walau dalam hati aku meringis. Gak gitu juga. Hei!

Pada hakikatnya kita semua ternyata saling sangka ya soal kehidupan kita masing-masing. 

Yang dilihatnya enak, ternyata enggak kok. 

The grass is always greener on the other side. 

Kira-kira begitulah.

Ya sudah, aku tak mau berlama-lama galau. Aku masih butuh duit buat hidup ini. Hahahaa. 

Mari kita tertawakan semua hal-hal yang mungkin terasa menyedihkan ini. 

Oh iya, minggu kemarin juga ada satu hal yang bikin perasaan aku campur aduk. Pada saat Mamah bela-belain nganter aku buat beli beberapa keperluan untuk mengajar. Baru kali itu, aku lihat Mamah se-excited pas memilih barang-barang. Tapi di saat yang sama aku juga sedih, karena aku belum punya cukup uang untuk bisa bikin mamah beli barang yang dia suka. Walau aku tahu, mamah gak pernah minta itu dari aku. Sampai akhirnya mamah tanpa sadar bilang, 

"Mamah itu seneng kalau belanja sama kamu. Soalnya bisa lihat barang-barang dan milihnya lama, jadi punya banyak pilihan." 

Aku terdiam. Kata-kata sederhana itu menyusup ke dalam hati. 

Tarik nafas. Hempaskan perlahan.

Aku cuma mau bilang sama diri aku,

Thank you for choosing to keep moving forward and keep learning. Because, as long as you live, challenges will always come and go. Remember, never stop learning, because life never stop teaching. I know, it is hard for you. But remember. You have Allah who always guides and accompanies you in every situation. Allah trusts you to go through this life. So please, don't underestimate yourself. Just seek for His sake, not human validation or appreciation.

Cheeers,

Solihat

Older Posts Home

ABOUT ME

I'm a storyteller who could look back at my life and get a valuable story out of it. I'm trying to figure things out by writing. Welcome to my journey! Please hit me up hisolihat@gmail.com.

POPULAR POSTS

  • Refleksi Catatan 79: Saat Anxiety Datang dan Orang-Orang Bertanya “Kapan Nikah?”
    Photo by Pixabay Hari Minggu sebentar lagi berakhir, dan itu artinya Senin sudah menunggu di depan mata. Kembali lagi bekerja, kembali lag...
  • Refleksi Catatan 80: I miss You, but I Let You Go
    Photo by Andrew Neel Tepat dua bulan yang lalu aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan dia. Seperti yang ditulis Brianna Wiest ...
  • Refleksi Catatan 81: Menulis Itu Mengingat Ulang
    Photo by Andrea Piacquadio Menulis itu berarti mengingat ulang, dan tidak semua ingatan itu menyenangkan. Rintik Sedu.   Semalam aku membaca...

Categories

  • BPNRamadan2021 1
  • Books 7
  • Catatan Harian 42
  • Dari Masa Lalu 2
  • Jalan-jalan 3
  • Puisi 3
  • Refleksi Diri 81
  • Satnight Story 3
  • Self Talk 1
  • Tentang si Kecil 2
  • Thanks for Leaving Me 1

Thank You!

You are looking for...

  • ▼  2025 (44)
    • ▼  November (5)
      • Yang Tak Pernah Selesai
      • Refleksi Catatan 81: Menulis Itu Mengingat Ulang
      • Melalui Jarak, Segalanya Menjadi Jelas
      • Tentang Jarak
      • Refleksi Catatan 80: I miss You, but I Let You Go
    • ►  October (3)
    • ►  September (2)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  June (3)
    • ►  May (7)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
    • ►  February (2)
    • ►  January (5)
  • ►  2024 (44)
    • ►  December (2)
    • ►  November (4)
    • ►  October (10)
    • ►  September (2)
    • ►  August (6)
    • ►  July (3)
    • ►  May (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (2)
    • ►  February (6)
    • ►  January (4)
  • ►  2023 (30)
    • ►  November (2)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  May (13)
    • ►  April (5)
    • ►  March (1)
    • ►  February (5)
    • ►  January (1)
  • ►  2022 (30)
    • ►  December (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (6)
    • ►  April (4)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2021 (15)
    • ►  December (2)
    • ►  November (3)
    • ►  October (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (4)
    • ►  June (1)

BloggerHub Indonesia

Friends

Translate

Copyright © Hi Solihat. Designed & Developed by OddThemes